PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Ilmu
Pendidikan memerlukan landasan keilmuan karena pendidikan dapat
dijadikan pijakan, arah, serta pilar utama terhadap pengembangan
manusia, Bangsa dan Negara untuk selalu berwawasan luas demi tercapainya
cita-cita bangsa. Bagi bangsa Indonesia
pendidikan diharapkan bias mengusahakan pembangunan manusia pancasila
sebagai manusia yang tinggi kualitasnya dan mampu untuk mandiri.
Landasan keilmuan itu juga sebagai pemberi dukungan bagi perkembangan
masyarakat. Sehingga Ilmu Pendidikan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
1. Landasan-Landasan Pengantar Pendidikan
- Landasan Filosofis
Landasan
yang berkaitan dengan makna atau hakekat pendidikan, menelaah
masalah-masalah pokok seperti apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan
diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dan sebagainya.
- Landasan Sosiologis
Kegiatan
pendidikan yang merupakan suatu proses interaksi antara dua individu,
bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri.
- Landasan Budaya
Landasan
yang mempelajari tingkah laku yang dapat diterima kemudian menerapkan
tingkah lakunya itu sendiri. Menjadikan anak sebagai anggota masyarakat.
Landasn ini juga bertujuan agar pendidikan di Indonesia
mengutamakan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara aspek
pelestarian nilai-nilai luhur sosial, kebudayaan, dan aspek-aspek
pengembangan.
- Landasan Psikologi
Landasan
yang berkaitan dengan pemahaman peserta didik, utamanya aspek kejiwaan.
Psikologi menyediakan informasi tentang kehidupan pribadi manusia serta
gejala-gejala aspek pribadi.
- Landasan Ekonomi
Landasan
ini membahas tentang budaya yang diperlukan dalam pandidikan, hasil
dari pendidikan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.
- Landasan Agama
Landasan
Agama dalam pendidikan memberikan keterangan bahwa agama berasal dari
wahyu yang gerasal dari tuhan(dalam hal ini agama bersifat residental).
Dengan landasan ini diharapkan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku pada agama.
- Antropologi
Landasan
ini berkaitan dengan landasan budaya. Dengan adanya landasan
antropolgi,peserta didik dapat mengetahui kebudayaan daerah lain.
- Hukum
Dengan
adanya landasan ini setiap orang akan lebih berhati-hati dalam
melakukan kegiatan(berkenaan dengan perilakunya). Jika ia melanggar maka
ia akan dikenai hukuman atau sanksi sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.
- Politik
Landasan
politik penting untuk melatih jiwa masyarakat,berbangsa dan bertanah
air dan juga dap[at dimaknai sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu
system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan
penyimpangan amanat.
- Teori Pengantar Pendidikan
a. Uyoh Sadulloh, 1994
Upaya
mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi;
dan (3) pendekatan religi.
b. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
c. Carl Rogers
Carl
Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak
keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama
tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi
klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931,
sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk
mencegah kekerasan pada anak.
Gelar
profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku
pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap
mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
d. Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
e. Teori Belajar Vygostky
Rumusan Masalah
Membahas tentang teori dan pendapat menurut para ahli tentang pengantar pendidikan yaitu menurut para ahli :
- Uyoh Sadulloh, 1994
- Maslow
- Carl Rogers
- Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
- Teori Belajar Vygostky
PEMBAHASAN
Uyoh Sadulloh, 1994
Upaya
mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi;
dan (3) pendekatan religi.
1. Pendekatan Sains
Pendekatan
sains yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk menelaah dan dan
memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan disiplin ilmu
tertentu sebagai dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam pendidikan
yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah yang
ketat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu
pendidikan dapat diiris-iris menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan
mendalam.Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan atau ilmu pendidikan,
dengan berbagai cabangnya, seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu
cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan
untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan; (2) psikologi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi
untuk mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar; (3)
administrasi atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan
sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya
memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan dapat
tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu
cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk
mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien;
(5) evaluasi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi
dari psikologi pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat
keberhasilan belajar siswa; (6) bimbingan dan konseling, suatu cabang
ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa disiplin ilmu, seperti:
sosiologi, teknologi dan terutama psikologi.Tentunya masih banyak
cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin berkembang yang
dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
2. Pendekatan Filosofi
Pendekatan
filosofi yaitu suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan
masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat.
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada
pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih
luas, kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman
inderawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau
oleh sains. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan
pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai
pandangan hidup. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan fakta, namun
pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan
oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir (disarikan dari Uyoh Sadulloh, 1994)Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme (Ismaun, 2001). Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya: (1) perenialisme; (2) esensialisme; (3) progresivisme; dan (4) rekonstruktivisme. (Ella Yulaelawati, 2003).Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir (disarikan dari Uyoh Sadulloh, 1994)Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme (Ismaun, 2001). Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya: (1) perenialisme; (2) esensialisme; (3) progresivisme; dan (4) rekonstruktivisme. (Ella Yulaelawati, 2003).Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Eksistensialisme
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya
sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa
pengalaman itu?
Progresivisme menekankan
pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan
landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan
elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme,
peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan
tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah,
berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa
berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut
aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
3. Pendekatan Religi
Pendekatan
religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan
dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama.Cara kerja
pendekatan religi berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana
cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal atau ratio, dalam
pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan).
Pendekatan religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu
yang diajarkan dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan
sebaliknya.Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam”
mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan
Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW
sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan
teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya
(Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan
demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran
filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat
kebenarannya.Berkenaan dengan tujuan pendidikan Islam, World Conference on Muslim Education (Hasan Langgulung, 1986) merumuskan bahwa : “
Education should aim at balanced growth of the total personality of man
through Man’s spirit, intelellect the rational self, feelings and
bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in
all its aspects, spirituals, intelectual, imaginative, physical,
scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate
all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The
ultimate aim of Muslim Education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level of individual, the community and
humanity at large.”
Sementara
itu, Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan
Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri : (1) memiliki jasmani
yang sehat, kuat dan berketerampilan; (2) memiliki kecerdasan dan
kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu
menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan
sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan (3) memiliki hati yang
takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT
dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan
alam gaib.Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang
hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti
tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang
islami, dan sebagainya. (selengkapnya lihat pemikiran Ahmad Tafsir dalam
bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam)Mengingat kompleksitas
dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan
yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan
satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik
dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan memliki
hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang
lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan multidisipliner
Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada
diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa
takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan,
takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di
sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat
menerima diri sendiri(self).Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs)
manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi
kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat
menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan
mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut
Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh
guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian
dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si
siswa belum terpenuhi.
Carl Rogers
Carl
Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak
keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama
tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi
klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931,
sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk
mencegah kekerasan pada anak.
Gelar
profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku
pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap
mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
- Kognitif (kebermaknaan)
- experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru
menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential
Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa.
Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa
secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya
efek yang membekas pada siswa.
Menurut
Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi
manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Siswa
akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai
bagian yang bermakna bagi siswa
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar
inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik
perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang
mendalam dan lestari.
i. Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya
sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar
yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus
terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai
proses perubahan itu.
Salah
satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang
fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada
tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang
mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri
guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
7. Tersenyum pada siswa
Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
Kurt Lewin
(1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin
memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan
dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup
perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang –
orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi
kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai
akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur
kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan
kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal
individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari
reward.
Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural.
Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal”
dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan
sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari
interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky
juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam
“zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development
adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan
dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“.
Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky
menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki
setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan
saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif
dalam masing-masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar
Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran
kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan
siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep –
konsep dan pemecahan masalah. Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin Kurt Lewin
(1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin
memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis.
KONTRIBUSI
Secara Teoritis
Makalah ini ditinjau dari kajian teoritisnya kalau pengantar pendidikan menurut pendapat para ahli Uyoh Sadulloh, 1994, Upaya
mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi;
dan (3) pendekatan religi. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang(2) kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu.Maslow mengemukakan bahwa
individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
hirarkis. Carl Rogers
Carl
Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak
keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama
tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi
klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931,
sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk
mencegah kekerasan pada anak. Teori Belajar Vygostky.Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural.
Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal”
dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan
sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari
interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya.
Secara Praktis
Pengantar
pendidikan secara praktis dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar
menyangkut antara pengajar dan siswa itu perlu adanya keserasian yang
selaras antara keduanya. Si siswa menyimak dan melaksanakan segala tugas
yang diberikan pengajar sedangkan pengajar melaksanakan kewajibannya
sebagai pengajar melakukan pembelajaran kepada siswa sesuai bidang
studynya. Apabila keduanya telah telah selaras secara praktis maka
pengantar pendidika berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
KESIMPULAN
Pengantar
pendidikan yang diuraikan oleh para ahli pendidikan semuanya merujuk
pada kesempurnaan sistematika pengajaran dalam pendidikan.Baik secara
kognitif maupun eksperential. Perubahan sruktur kognitif itu adalah
hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar